Amtsal al-Qur'an

By ; Ipins 19
Mata Kuliah Studi Al-Qur'am

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hakikat-hakikat yang tinggi makna dan tujuannya akan lebih menarik jika dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan pada pemahaman, melalui analogi dengan sesuatu yang telah diketahui secara yakin. Tamsil (membuat pemisalan, perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dlam bentuk yang hidup dan mantap dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang kongkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa.
Betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih indah, menarik dan mempesona oleh tamsil. Karena itulah makna tamsil lebih dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya. Dan tamsil adalah salah satu uslub al-qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatannya.
Diantara para ulama ada sejumlah orang menulis sebuah kitab yang secara khusus membahas perumpamaan-perumpamaan (amtsal) dalam qur’an, dan ada pula yang hanya membuat satu bab mengenainya dalam salah satu kitabnya-kitabnya. Kelompok pertama, misalnya, Abu Hasan al-Maturidi sedang kelompok kedua, antara lain, al-Itqan dan Ibnu Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in. Bila kita meneliti amtsal dalam qur’an yang mengandung penyerupaan (tasybih) sesuatu dengan hal serupa lainnya dan penyamaan antara keduanya dalam hukum, maka amtsal demikian mencapai jumlah lebih dari empat puluh buah.
Allah SWT. mengemukakakan dalam al-Quran yang mulia, bahwa Dia membuat sejumlah amtsal ;
لَوْ أَنْزَلْنَا هذاالقرأن على جبل لرأيته, خاشعا متصدّعا من خشية الله ˆ وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون
Artinya ; ” kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr [59] ; 21)
وتلك الأمثال نضربها للناس, وما يعقلها الا العلمون
Artinya ; ”Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia ; dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut [29] ; 43)
ولقد ضربنا للناس فى هذاالقرأن من كل مثل لعلهم يتذكرون
Artinya ; ”Dan sungguh kami telah membuat bagi manusia didalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39] ; 27)

Dari Ali bin Abi Thalib RA, menyatakan. Rasulullah SAW bersabda ;
”Sesungguhnya Allah menurunkan al-Qur’an sebagai perintah dan larangan, tradisi yang telah lalu dan perumpamaan yang dibuat.”

Allah menggunakan banyak perumpamaan (amtsal) dalam Al-Qur’an. Perumpamaan-perumpamaan itu dimaksudkan agar manusia memperhatikan, memahami, mengambil pelajaran, berpikir dan selalu mengingat. Sayangnya banyaknya perumpamaan itu tidak selalu membuat manusia mengerti, melainkan tetap ada yang mengingkarinya/ tidak percaya. Karena memang tidaklah mudah untuk memahami suatu perumpamaan. Kita perlu ilmu untuk memahaminya. Sudah digambarkan dengan perumpamaan saja masih susah apalagi tidak. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan sedikit tentang ilmu amtsal Al-Qur’an.

B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah tentang amtsal Qur’an ini adalah menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu amtsal sehingga para pembaca yang awalnya belum pernah mengetahuinya menjadi tahu. Setelah memahami ilmu amtsal Qur’an diharapkan para pembaca mampu memahami, mangambil pelajaran, berpikir, dan selalu mengingat ayat-ayat Al-Qur’an.

C. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami hanya membahas beberapa ruang lingkup saja, yaitu:
1. Definisi Amtsal Al-Qur’an
2. Unsur-unsur Amtsal Al-Qur’an
3. Macam-macam Amtsal Al-Qur’an
4. Faedah Amtsal Al-Qur’an


PEMBAHASAN

A. Pengertian Amtsal
Amtsal berasal dari bahasa arab أمثل – يمثل - إمثالا " " adalah bentuk jamak dari matsal, dan matsal sama dengan syabah, baik lafadz maupun maknananya.
Dalam sastra ”مثل” adalah suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah popular dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan. Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang, keadaan) dengan apa yang terkandung dalam perkataan itu, misalnya ; رب رمية من غير رام (betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja), artinya ; betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran itu dilakukan sesorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya. Orang pertama yang mengucapkan masal ini adalah al-Hakam bin Yagus an-Nagri.
Masal ini beliau katakan kepada orang yang biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar inilah, masal harus mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya sesuatu yang lain diserupakan.
Secara garis besarnya, Amtsal adalah menonjolkan makna dalam bentuk perkataan yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).

B. Unsur-unsur Amtsal dalam al-Qur’an
Sebagian Ulama mengatakan bahwa Amtsal memiliki empat unsur, yaitu:
1. الوجه الشبة : segi perumpamaan
2. أداءة التشبية: alat yang dipergunakan untuk tasybih
3. المشبة : yang diperumpamakan
4. المشبة به : sesuatu yang dijadikan perumpamaan.

Sebagai contoh, firman Allah SWT ;
مثل الذين ينفقون أموالهم فى سبيل الله كمثل حبّة أنبتت سبع سنابل فى كل سنبلة مائة حبّة , والله يضعف لمن يشاء, والله سميع عليم
Artinya ; “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Baqarah ; 261
 Wajhu Syabah pada ayat di atas adalah “pertumbuhan yang berlipat-lipat”. Ada satu tasybihnya adalah kata matsal. Musyabbahnya adalah infaq atau shadaqah di jalan Allah. Sedangkan musyabbah bihnya adalah benih.

C. MACAM-MACAM AMTSAL DALAM AL-QUR’AN

Bagian Amsal dalam al-Qur’an dibagi menjadi 3 (tiga) macam, antara lain :
1. Amtsal Musarrahah, adalah yang didalamnya dijelaskan dengan lafadz masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam al-qur’an, antara lain;
a) QS. Al-Baqarah [2] ; 17-20
مثلهم كمثل الذى استوقدنارا فلما أضاءت ماحوله, ذهب الله بنورهم وتركهم فى ظلمت لا يبصرون © صم بكم عمى فهم لا يرجعون © أوكصيب من السماء فيه ظلمت ورعد وبرق يجعلون أصبعهم فى ءاذانهم من الصواعق حذر الموت, والله محيط بالكفرين © يكاد البرق يخطف أبصرهم, كلما أضاءلهم مشوفيه وإذا أظلم عليهم قامو, ولوشاءالله لذهب بسمعهم وأبصرهم, إن الله على كل شيئ قدير©
Artinya ; ”Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api , Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta , Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati . dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

b) QS. Ar-Ra’d [13] ; 17
أنزل من السماء ماء فسألت أودية بقدرها فاحتمل السيل زبدا رابيا, ومما يوقدون عليه فى النار ابتغاء حلية أو متع زبد مثله, كذالك يضرب الله الحق والبطل, فأما الزبد فيذهب جفاء, وأما ما ينفع الناس فيمكث فى الأرض, كذالك يضرب الله الأمثال
Artinya ; ”Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”

2. Amtsal Kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil (pemisalan), tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada orang yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, diantaranya ;
a) Ayat-ayat yang senada dengan perkataan ; خير الأمور أوساطها (sebaik-baik urusan adalah pertengahannya), yaitu ;
قالواادع لنا ربك يبين لنا ما هي, قال إنه يقول إنها بقرة لافارض ولابكر, عوان بين ذلك, فافعلوا ما تؤمرون
Artinya ; mereka menjawab : ”mohonkanlah kepada tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu.” Musa menjawab: ”sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antar itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu”. QS. Al-Baqarah ; 68

b) Ayat-ayat yang senada dengan perkataan ; ليس الخير كالمعاينة (kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri), hal ini sama seperti firman Allah SWT ;
وإذقال إبراهيم ربي أرني كيف تحى الموتى, قال أولم تؤمن, قال بلى ولكن ليطمئن قلبى, قال فخذ أربعة من الطيرفصرهن إليك ثم اجعل على كل جبل منهن جزءا ثم ادعهن يأتينك سعيا, واعلم إن الله عزيز حكيم
Artinya ; Dan (ingatlah) ketika ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “belum yakinkah kamu?”. Ibrahim menjawab : “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku). Allah berfirman ; (kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semua olehmu. (Allah berfirman) : ”lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera”. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS. Al-Baqarah ; 260

c) Ayat-ayat yang senada dengan perkataan ; كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ (sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan bayar), misalnya ;
من يعمل سوءا يجزبه ولا يجد له من دون الله وليا ولا نصيرا
Artinya ; “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatannya itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah”. QS. An-Nisa’ ; 123

d) Ayat-ayat yang senada dengan perkataan ; لَا يَلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ مَرَّتَيْنِ (orang mukmin tidak akan disengat tiga kali dari lubang yang sama), misalnya firman Allah melalui lisan Ya’qub ;
فلما رجعوا إلى أبيهم قالوا يا أبانا منع منا الكيل فأرسل معنا أخانا نكتل وإنا له لحفظون
Arinya ; Maka tatkala mereka kembali kepada ayah mereka (Ya’qub) mereka berkata : ”Wahai ayah kami, kami tidak akan mendapat sukatan (gandum) lagi, (jika tidak membawa saudara kami), sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama-sama kami supaya kami mendapat sukatan, dan sesungguhnya kami benar-benar akan menjaganya. QS. Yusuf ; 63

3. Amtsal Mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsal. Adapun contohnya sebagai berikut :
a) ’’...ألأن خصص الحق...”
Artinya : ”Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (QS. Yusuf ; 51)
b) ” ليس لها من دون الله كاشفة”
Artinya ; ”Tidak ada yang kan menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” (QS. An-Najm [53] ; 58)
c) ”... قضي الأمر الذى فيه تستفتيان”
Artinya ; ”Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).” (QS. Yusuf [12] ; 41)
d) ”... أليس الصبح بقريب”
Artinya ; ”Bukankah subuh itu sudah dekat?.” (QS. Hud ; 81)
e) ”... وعسى أن تكوهو شيئا وهو خيرلكم”
Artinya ; ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] ; 216)

Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amtsal mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai matsal?
Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagai telah keluar dari adab Qur’an. Berkata ar-Razy ketika menafsirkan ayat, لكم دينكم وليدين ”untukmulah agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109] ; 6) ;
Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai matsal (untuk membela, membenarkan perbuatannya). Ketika ia harus meninggalkan agama, padahal hal demikian tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya”.

D. FAEDAH-FAEDAH AMTSAL
1. Menonjolkan sesuatu yang hanya dapat dijangkau dengan akal menjadi bentuk kongkrit yang dapat dirasakan atau difahami oleh indera manusia.
2. Menyingkapkan hakikat dari mengemukakan sesuatu yang tidak nampak menjadi sesuatu yang seakan-akan nampak. Contoh :
الذين يأكلون الربوا لا يقومون إلا كما يقوم الذى يتخبته الشيطن من المس, ذلك بأنهم قامو إنما البيع مثل الربوا, وأحل الله البيع وحرم الربوا, فمن جاءه موعظة من ربه, فانتهى فله ما سلف وأمره الى الله, ومن عاد فألئك أصحب النار, هم فيها خلدون.
Artinya ; “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” QS. Al-Baqarah: 275

3. Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam ungkapan yang padat, seperti dalam amtsal kaminah dan amtsal mursalah dalam ayat-ayat di atas.
4. Memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amtsal
5. Menghindarkan diri dari perbuatan negatif
6. Amtsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah swt. banyak menyebut amtsal untuk peringatan dan supaya dapat diambil ibrahnya.
7. Memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.

E. MEMBUAT MATSAL DENGAN AL-QUR’AN
Telah menjadi tradisi para sastrawan, menggunakan amtsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi amtsal tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan manusia yang telah berlaku sebagai masal, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat al-quran sebagai masal. Mereka tadak memandang perlu bahwa orang harus membacakan suatu ayat amsal dalam kitabullah ketika ia menghadapi suatu urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan al-quran dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mu’min.
 Abu ’Ubaid berkata, ”Demikianlah, seseorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya atau ada kepentingan dengannya, tiba-tiba sahabat itu datang tanpa diminta, maka ia berkata kepadanya secara humor ; ”kamu datang menurut waktu yang ditetapkan wahai Musa, (taha [20] ; 40), perbuatan demikian merupakan penghinaan terhadap al-Qur’an. ”Ibnu Syihab as-Zuhri berkata, ”janganlah kamu menyerupakan (sesuatu) dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah.” maksudnya, kata Abu Ubaid, janganlah kamu menjadikan bagi keduanya sesuatu perumpamaan, baik berupa ucapan ataupun perbuatan.

KESIMPULAN
Allah menggunakan banyak perumpamaan (amtsal) dalam Al-Qur’an. Perumpamaan - perumpamaan itu dimaksudkan agar manusia memperhatikan, memahami, mengambil pelajaran, berpikir dan selalu mengingat. Sayangnya banyaknya perumpamaan itu tidak selalu membuat manusia mengerti, melainkan tetap ada yang mengingkarinya/ tidak percaya. Karena memang tidaklah mudah untuk memahami suatu perumpamaan. Kita perlu ilmu untuk memahaminya.
Amtsal Qur’an penting untuk memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amtsal, menghindarkan diri dari perbuatan negatif. Amtsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah swt. banyak menyebut amtsal untuk peringatan dan supaya dapat diambil ibrahnya. Amtsal juga memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya amtsal al-qur’an


DAFTAR PUSTAKA
Abul Hasan ‘Ali bin Habib asy-Syafi’ie. Adabul Dunya wa Dien dan al-Ahkamus Sultaniyah. Wafat pada tahun 450 H.
Al- Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Bogor, Pustaka Litera AntarNusa. 2009)
-------- Al-Itqan, Jilid II, hal. 131
Hadits Tirmizi dalam As-Sunan at-Tirmizi, dan perawinya adalah perawi hadits shahih
Mudzakir AS. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta. PT. Pustaka Litera AntarNusa. 2004)
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1989)
--------- Muhammad al- Khidir, Balaghah al-Qur’an


Filsafat Sosial


Oleh ; Coel Ipins

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah kehidupan manusia selalu diwarnai dengan keberkelompokan dan kebersamaan. Muncul empat teori dalam menganalisa alasan kehidupan sosial manusia tersebut: (1) teori sumber ekternal dan lingkungan hidup sosial, (2) teori sumber insting kehidupan sosial, (3) teori sumber rasional hidup sosial, dan (4) teori sumber emosional dan hati dalam kehidupan sosial. Teori pertama adalah ekternal, adapun yang lain, internal. Berdasarkan dua teori pertama, kehidupan sosial tidak sejati dan juga tidak bertujuan manusiawi, sedangkan dua teori berikutnya memandang kehidupan sosial untuk mencapai tujuan-tujuan manusiawi yang tinggi.
Tiga dari empat teori di atas kurang lebihnya berakar juga pada pemikiran sosial muslimin dan bisa dimengerti dari kata-kata mereka. Bagian terluas dari interpretasi sosial muslimin dipenuhi oleh argumentasi-argumentasi yang sering menitikberatkan ruang keseragaman manusia dan binatang, seperti insting, birahi, dan tuntutan primitif lainnya. Namun, akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan muslim memperhatikan sisi-sisi spesial manusia, seperti pengetahuan dan kecenderungan fitrah, sebagai sumber terciptanya kehidupan sosial.
Teori Ibn Khaldun yang terfokus pada kebutuhan primer fisik manusia begitu pula teori Allamah Thabathabai yang meyakini jiwa memperbantukan yang lain sebagai asas natural manusia, keduanya bertemu dalam titik, bahwa “cinta diri sendiri” adalah satu-satunya pokok terutama dalam diri manusia; artinya seseorang bergabung dengan yang lain karena dia mencintai dirinya dan ingin terus kekal. Dia menutup mata dari sebagian kecil keuntungan dan jerih payahnya demi meraup hasil dan bantuan orang lain yang jauh lebih besar. Maka dari itu, cinta diri sendiri merupakan faktor memperbantukan yang lain dan alasan kenapa seseorang rela menutup mata dari sebagian keuntungannya, tidak lain untuk menciptakan kehidupan gotong royong dan meraih keuntungan yang lebih besar. Menurut logika di atas, kecenderungan asli setiap orang adalah meraih keuntungan dari jerih payah orang lain. Adapun keberpalingannya dari sebagian keuntungan miliknya bukan kehendaknya yang sebenarnya, melainkan dia terpaksa melakukannya dengan kecenderungan di atas.
Pertanyaannya adalah apa penjelasan logika ini tentang rindu dan pengorbanan tanpa balas yang dilakukan manusia? Pengalaman hidup sehari-hari kita menyaksikan beberapa fakta kerinduan manusia terhadap manusia yang lain dan merelakan apa yang dia miliki tanpa balas. Apakah tindakan seperti ini terbilang natural? Kalau iya, bagaimana cinta orang lain bisa bertemu dengan cinta diri sendiri? Kita menyaksikan keakraban, ketulusan, pengorbanan tanpa balas dan perasaan dalam kehidupan sosial manusia, semua itu sama sekali tidak berbau pragmatis, cinta posisi, dan egoisme. Karena itu, apa bijak apabila kita tidak menerimanya minimal seperingkat dalam kesejatian, hakikat, dan naturalitas dengan tindakan bisnis, pragmatis dan serakah manusia?!
Dengan demikian, apakah masih bisa diyakini bahwa cinta diri sendiri, kecenderungan memperbantukan yang lain, dan pemuasan faktor-faktor fisiologik sebagai satu-satunya motif dan keinginan natural utama manusia? Syahid Muthahari berpandangan, pokok memperbantukan yang lain adalah bentuk terhormat dari konflik kekekalan seperti teori evolusi Darwinisme sosial masa kini.[1]

B.    Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah tentang Filsafat Sosial ini adalah menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial, sehingga para pembaca yang awalnya belum pernah mengetahuinya menjadi tahu. Setelah memahami ilmu filsafat soial diharapkan para pembaca mampu memahami, mangambil pelajaran, berpikir, dan selalu mengingat tentang hakikat dirinya sebagai manusia seutuhnya.

C.    Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami hanya membahas beberapa ruang lingkup yang berkaitan dengan kehidupan sosial, yaitu:
1.     Dialektika Filsafat Sosial
2.     Unsur-unsur hidup bermasyarakat
3.     Tujuan hidup bermasyarakat
4.     Manfaat bergaul dengan lingkungan masyarakat




PEMBAHASAN
A.    Dialektika Filsafat Sosial
Sejarah pemikiran Islam pada Abad Pertengahan, dampak dari filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan, dan pembentukan sebuah tradisi teologis sendiri, adalah panjang dan rumit. Artikel-artikel dalam buku ini didedikasikan untuk Hans Daiber, salah satu ulama perintis dalam bidang ini, menawarkan wawasan baru dari berbagai perspektif: filologis, filosofis, dan historis. Subyek berkisar dari filsafat dan teologi Islam, selama sejarah ilmu pengetahuan, transmisi ke budaya abad pertengahan lain bahasa dan sastra. Selain penemuan khusus mereka, mereka memberi kesan tentang dinamika intelektual Islam Abad Pertengahan sejarah serta dari keragaman pendekatan yang diperlukan untuk memahami dinamika ini.
Filsafat sosial adalah studi filosofis pertanyaan menarik tentang perilaku sosial (biasanya, dari manusia). Alamat filsafat sosial berbagai mata pelajaran, dari arti individu legitimasi hukum, dari kontrak sosial untuk kriteria untuk revolusi, dari fungsi sehari-hari tindakan untuk efek ilmu pengetahuan tentang budaya, dari perubahan dalam demografi manusia ke urutan kolektif sarang lebah. Ini adalah lapangan yang luas dengan banyak subdisiplin.

B.    Tujuan Hidup Bermasyarakat
Syahid Mutahari berpendapat kehidupan sosial disebabkan oleh emosi (perasaan) dan kecenderungan diri manusia kepada perkumpulan bersama manusia yang lain. Oleh karena itu, manusia yang hidup sosial adalah orang yang normal. Adapun orang yang terputus dan terasing dari masyarakat adalah tidak normal. Sekilas teori ini falsafah yang tinggi dalam menjelaskan kesejatian cinta orang lain dan cinta diri sendiri. Akan tetapi, kritikan yang menghantam teori ini terarah pada obyektifitas yang diberikan pada perkumpulan dan kehidupan sosial itu sendiri.
Dengan kata lain, hidup bersama orang lain, siapapun dia, musyrik atau mukmin, salih atau perusak, berbudi pekerti atau tak bermoral merupakan tujuan natural dan terutama dari gerakan manusia, dan teori semacam ini sekaligus juga konsekwensinya tidak didukung oleh teks-teks agama; karena, berdasarkan filsafat ini, manusia yang telah bergabung dengan masyarakat (walaupun masyarakat itu jahat dan menyimpang), dia telah bertindak sesuai dengan tuntutan normal dirinya dan dia telah sampai pada kesempurnaan internal dirinya. Dari sisi ini, dia tidak kekurangan sehingga tidak diperlukan lagi untuk menyempurnakan dirinya dengan bergabung pada masyarakat lain. Padahal menurut tuntunan agama harus berpisah dan memutus hubungan dari masyarakat jahiliah dan bergabung dengan masyarakat yang lain.
Pada dasarnya, pokok hijrah yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan hadis Nabi saw untuk mengajarkan kepada kita bahwa manusia tidak bisa sampai pada hakikat kemanusiaan dan meraih kesempurnaan dirinya di segala bentuk kehidupan sosial dan masyarakat. Setiap orang yang menghendaki fitrah dan hakikat yang selamat dan sempurna, maka dia harus keluar dari masyarakat yang diselimuti kezaliman, kekejian, kerusakan, kesyirikan, dan penuhanan manusia. Berhijrah dan bergabung dengan masyarakat yang lain, terlepas dari komunitas musyrik dan bergabung dengan komunitas bertauhid; berpisah dari masyarakat tagut dan bersatu dengan masyarakat yang bebas, menjauh dari kalangan borjuis, berpihak pada kalangan terhormat dan bertaqwa. Dengan itu jelas sudah bahwa hakikat dan kesempurnaan seseorang tidak bisa diperoleh dengan segala bentuk kehidupan sosial.
Agama tidak mengajarkan hidup bersama orang lain siapapun dia dan bergabung dengan kelompok tertentu kemanapun arah mereka. Berbeda dengan interpretasi Syahid Mutahari dari kehidupan madani yang tidak mampu menjustifikasi filsafat hijrah, karena dengan alasan apa seseorang harus meninggalkan komunitas tertentu dan bergabung dengan komunitas yang lain? Apakah untuk mencapai hakikat dan kesempurnaan awalnya? Tentu tidak!
Hal itu sudah diperoleh sebelumnya bersama komunitas pertama, karena itu tujuan natural dan primer manusia dalam hidup bermasyarakat, sebagaimana Syahid Mutahari menyimpulkannya dari ayat-ayat Al-Qur’an ; tidak harus berarti dia tergiring oleh keterpaksaan dan perasaan yang murni manusiawi ke arah orang selain dirinya, melainkan kekuatan nalar atau rasio dan kemampuan identifikasi serta eksperimen yang telah ia selidiki dapat mengantarkan manusia untuk hidup bersama yang lain.
Ayat-ayat Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai pedagang yang senantiasa bernegosiasi dan mencari keuntungan; makhluk yang selalu dalam kondisi niaga dan bisnis. Oleh karena itu, terkadang dia untung dan terkadang juga rugi. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللهَ اشْتَرَیمِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَيَقْتُلُوْنَ وَ يُقْتَلُوْنَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ  وَ الْإِنْجِيْلِ وَ الْقُرْآنِ وَ مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوْا بِبَيْعِكُمُ الَّذِيْ بَايَعْتُمْ بِهِ وَ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
Artinya : “Sesungguhnya Allah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan imbalan surga, mereka berperang di jalan Allah maka mereka membunuh dan terbunuh. (Hal ini) sebagai janji Allah yang sungguh (haq) di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an, dan barangsiapa setia terhadap janjinya kepada Allah, maka berita-berita buat kalian atas perniagaan yang kalian lakukan, dan itu adalah kemenangan yang agung."[2]

Filsafat humanian tersebut di atas senada dengan filsafat sosial dan ibarat yang terdapat pada ceramah-ceramah Nahjul Balaghah tentang esensi dunia dan kehidupan sosial. Sebuah contoh adalah kutipan ; “Sadarlah bahwa hari ini adalah persiapan dan esok adalah perlombaan.” Hal ini juga kita lihat di bab 16 Nahjul Balaghah, yang artinya ;
"Demi Tuhan yang telah mengutus Rasulullah saw dengan benar, kalian akan tercampur aduk secara tertentu, dan akan tersaring secara tertentu, dan seperti layaknya bahan-bahan lainnya kalian akan terbolak-balik sehingga yang terendah menjadi tertinggi dan sebaliknya, yang tertinggi dari kalian jadi terendah. Begitu mereka yang dulunya tertinggal akan mendahului dan sebaliknya yang di depan jadi tertinggal di belakang."[3]

Tiga kalimat di atas menerangkan kepada kita bahwa kehidupan sosial (ruang dunia) adalah medan menang dan kalah serta kesempatan berlomba. Setiap orang yang memasuki medan ini siap untuk bersaing; mereka menginjakkan kaki di atas kehidupan ini untuk menang atau kalah, mereka ditarik ke sini untuk niaga dan mencari keuntungan. Maka dari itu, di dalam kajian humanologi kita katakan bahwa manusia adalah eksistensi pedagang yang mencari keuntungan dan di dalam sosiologi kita katakan bahwa kehidupan sosial adalah medan perniagaan. Di filsafat manusia kita menyebut manusia sebagai yang berlomba dan pesaing. Adapun di filsafat sosial kita katakan, manusia tergiring ke arah hidup bermasayarakat untuk berlomba dan bersaing.
Tiga kalimat di atas menerangkan kepada kita bahwa kehidupan sosial (ruang dunia) adalah medan menang dan kalah serta kesempatan berlomba. Setiap orang yang memasuki medan ini siap untuk bersaing; mereka menginjakkan kaki di atas kehidupan ini untuk menang atau kalah, mereka ditarik ke sini untuk niaga dan mencari keuntungan. Maka dari itu, di dalam kajian humanologi kita katakan bahwa manusia adalah eksistensi pedagang yang mencari keuntungan dan di dalam sosiologi kita katakan bahwa kehidupan sosial adalah medan perniagaan. Di filsafat manusia kita menyebut manusia sebagai yang berlomba dan pesaing. Adapun di filsafat sosial kita katakan, manusia tergiring ke arah hidup bermasayarakat untuk berlomba dan bersaing.

C.    Unsur-Unsur Hidup Bermasyarakat
Sejumlah masnusia yang hidup bersama dalam waktu yang relative lama; di dalamnya manusia dapat saling mengerti dan merasa dan mempunyai harapan-harapan sebagi akaibat dari hidup bersama itu. Terdapat system komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masyarakt tersebut.
Manusia yang hidup bersama itu merupakan satu kesatuan atau suatu system hidup bersama, yaitu hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan, oleh karenanya setiap anggota masyarakat merasa dirinya asing-masing terikat dengan kelompoknya
Menurut Soerjono Soekanto,[4] alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
1.     Berangotakan minimal dua orang.
2.     Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3.     Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4.     Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.

D.    Kenapa Hidup Bermasyarakat?
Manusia menghendaki perniagaan yang penuh keuntungan, dan perniagaan yang penuh keuntungan bisa diperoleh dengan hidup sosial. Oleh karenanya, secara rasional manusia menghendaki kehidupan sosial. Teori ini diperkuat juga olah filsafat hijrah dalam ajaran Islam. 
Memang benar bahwa manusia memilih untuk gotong royong dan hidup bermasyarakat. Hal itu karena dia ingin mengambil keuntungan yang lebih besar dan mencapai kesempurnaan yang lebih. Akan tetapi, di saat dia melihat bahwa ternyata medan perniagaan ini berbahaya, merugikan, mengalami kekalahan dan kemunduran, maka dia menarik diri dan berhijrah ke pasar yang lebih menguntungkan dan tanpa riskan yang besar. Oleh karenanya, filsafat hijrah dalam konsep Islam merupakan kelanjutan dari filsafat sosial Islam. Setiap orang memberikan kontribusi kepada masyarakat dan juga menarik keuntungan darinya, mengeluarkan modal dan mengantongi laba, menggelar barang di depan khalayak dan juga membeli barang lain dari mereka.[5]
Maka jangan sampai dia rugi dalam perniagaan ini melainkan harus membawa keuntungan yang berlimpah ruah dan menjadi pemenang. Tapi jika masyarakat memberikan barang yang jelek sebagai timpalan dari barang yang telah dipersembahkan oleh seseorang, maka dia akan mengalami kerugian dalam perniagaan ini. Setiap orang terjun ke medan perniagaan dan pasar jual beli sosialnya dengan bekal fitrah dan inti kemanusiaannya. Modalnya adalah kemanusiaan dan kesempurnaan manusiawi yang dimilikinya, yaitu kekuatan nalar, kekuatan identifikasi, intuisi moral, kecenderungan manusiawi, cinta hakikat, cinta keutamaan, kemuliaan dan kehormatan etis, kasih sayang dan pengorbanan untuk orang lain, jihad dan perjuangan, tauhid dan pengabdian hanya pada Yang Maha Esa. Dan apabila masyarakat yang dia hadapi adalah kafir, musyrik, tidak adil, dan rusak, maka balasan yang diperoleh seseorang yang telah mempersembahkan fitrah dan kemanusiaannya dari mereka adalah kekafiran, kefasikan dan kejahatan, dan sudah barang tentu dia yang merugi dalam perniagaan dan kalah dalam perlombaan ini. Di sinilah agama memerintahkan dia berhijrah ke bumi lain dan mengadakan transaksi dengan komunitas yang berbeda agar mendapat keuntungan yang besar, kemanusiaannya pun tidak ternoda, fitrahnya tidak terrampas dan barangnya tidak sampai cacat.[6]
Berdasarkan penjelasan di atas, filsafat hijrah didesign sebagai lanjutan dari filsafat kehidupan sosial: menjanjikan keuntungan yang berlimpah ruah, menjamin keamanan, menghindarkan bahaya kerugian manusia pedagang! Di tengah masyarakat yang berpaling dari penyembahan Yang Maha Esa dan menggantikannya dengan tagut, di tengah komunitas yang bangga terhadap harta, tahta dan semisalnya yang menduduki posisi ketakwaan, kedamaian, keteguhan, kejujuran, kesetiaan dan nilai-nilai manusia yang sesungguhnya, di tengah kaum yang kebinatangan tanpa batas menggeser tempat kemanusiaan merdeka yang bersandar pada Tuhan Maha Absolut; dalam kondisi dan situasi seperti ini, maka apabila seseorang reaktif dan tidak mampu untuk aktif berpengaruh pada mereka, dia harus berhijrah dan bergabung dengan komunitas lain agar dapat menjaga modal primer kemanusiaan yang dia miliki dan mengembangkan nilai-nilai fitrah serta merealisasikan potensi-potensi yang diberikan Tuhan kepadanya.


KESIMPULAN
Teori-teori yang argumentasinya berporos pada jaminan kebutuhan primer dan dorongan manusia sama dan searah dengan teori memperbantukan orang lain dari sisi kesejatian yang diberikan pada cinta dan pengabdian pada diri sendiri, semua teori ini tidak dapat menjelaskan nilai-nila kemanusian dan sosial yang sangat tinggi seperti rindu atau kasih sayang, pengorbanan pada orang lain tanpa balas, cinta keadilan, dan lain sebagainya.
Adapun teori Syahid Mutahari juga tidak sejalan dengan teks agama dan berlawanan dengan filsafat hijrah, karena kendati pun teori ini tampil lebih manusiawi dibanding teori-teori sebelumnya, namun teori ini meletakkan kesejatian pada sosial quo sosial (perkumpulan dalam kapasitasnya sebagai perkumpulan dan tidak lebih dari itu) dan kecenderungan kepada yang lain quo kecenderungan kepada yang lain.
Pada hakikatnya, ayat Al-Qur’an dan kalimat Nahjul Balaghah secara eksplisit menyatakan manusia adalah pedagang dan kehidupan sosialnya merupakan pasar perniagaan, dan pada situasi yang membahayakan, merugikan dan pasti kalah, maka agama seragam dengan rasio pencari penghitung dan pencari untung mengharuskan dia untuk bersaing di market yang berbeda.




[1] Catatan memperingati Ust. Syahid Mutahari, jilid 1, artikel “Kekekalan dan Etika”, hal. 401, cetakan Sazmân-e Intisyârât va Amûzesy-e Inqilâb-e Islami, 1360 HS.

[2] QS. At-Taubah ; 111
[4] Soerjono Soekanto, Status Kehidupan Kemasyarakatan. (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2004). Hal. 126
[5] http;//filsafat19%sosial/index.php.htm.com. (16 September 2009)
[6] Kritik tajam Shari’ati atas sains dan filsafat “bebas nilai” bisa ditemukan, salah satunya, dalam Man and Islam pada bagian “ideology.” Ali Shari’ati, Man and  Islam, (Mashhad: University of Mashhad, 1982), hal. 189-229.

"Ragam Teori Interpretasi Hadits ; Teori Tekstual & Kontekstual"

Oleh ; Coel Ipins

A. Latar Belakang
Bersama al-Qur’an, hadits menjadi point yang sensitif dalam kesadaran spiritual maupun intelektual muslim. Tidak saja karena ia menjadi sumber pokok ajaran Islam, tetapi juga sebagai tambang informasi bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali historiografi Islam yang cukup banyak merujuk pada hadits-hadits. Hadits menjadi semakin krusial ketika makin banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan sahabat telah banyak yang wafat.
Ketika Nabi masih hidup persoalan dapat dipecahkan dengan otoritas al-Qur’an atau Nabi Muhammad sendiri. Demikian pula pada masa sahabat, masyarakat dapat melihat praktek nabi yang dijalankan para sahabat. Tetapi setelah itu berbagai informasi tentang nabi menjadi sangat penting bagi kaum muslim. Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadits dalam berbagai bentuk dan jenisnya dengan muatan hadits-hadits yang cukup beragam.
Dalam kaitannya sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadis pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian hadits merupakan interpretasi Nabi SAW, yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadits nabi. Dari sini, maka hadis pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadits dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadits Nabi terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadits nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadits. Realitanya bahwa hadits nabi lebih banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul di kalangan generasi muda Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negeri Islam lainnya.
Pendekatan ini terhadap sebahagian hadits Nabi merupakan satu keharusan tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan malah menjadi sesuatu yang kontradiktif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadits Nabi. Karena pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana-sarjana muslim, lantas menyerang hadis yang tanpak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman, meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadits yang demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul (Shahih). Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad, bahwa pendekatan kontekstual atas hadits Nabi saw, belum begitu memperoleh perhatian.

B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah tentang ragam teori interpretasi hadits ini adalah menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan teori tekstual dan kontekstual hadits nabi Muhammad SAW, sehingga para pembaca yang awalnya belum pernah mengetahuinya menjadi tahu. Setelah memahami makalah studi hadits ini diharapkan para pembaca mampu memahami, mangambil pelajaran, dan berpikir, bahwa hadits nabi bersifat universal.

C. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami hanya membahas beberapa ruang lingkup saja, yaitu:
1. Konteks Redaksional
2. Istilah Kontenstual
3. Konteks Historis, Sosiologis dan Antropologis
4. Pendekatan Kontekstual dalam perkembangan Sejarah

PEMBAHASAN
A. Konteks Redaksional

Hadits sebagai sebuah pesan-pesan keagamaan disampaikan dalam sebuah bahasa yang tentunya juga bersifat keagamaan. Sebagai sebuah bahasa keagamaan tentu sedikit tidaknya berbeda dengan bahasa ilmiah atau bahasa umum. Salah satu ciri yang paling menonjol dalam bahasa keagaam adalah seringnya pemakaian bahasa metaforis. Hal ini agaknya tak dapat dihindari karena untuk mebahasakan dan mengekspresikan tentang Tuhan dan objek yang abstrak, manusia tak bisa tidak mesti menggunakan ungkapan yang familiar dengan dunia indrawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-simbol. Bahasa metaforis.
Seperti ungkapan Komaruddin Hidayat, bahwa hadits memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang ucapan itu sendiri. Dan bahasa metaforis ini tampaknya cukup efektif menghancurkan kesombongan masyarakat Jahiliah.
Bahasa metaforis atau majaz dalam bahasa Arab dapat diungkapkan sebagai kata yang dipakai bukan pada makna yang diperuntukkan baginya (bukan makna aslinya) karena adanya hubungan atau korelasi “علقة” diikuti dengan tanda-tanda yang mencegah penggunaan makna asli tersebut. Jagi pengalihan makna hakiki kepada majazi dilakukan karena adanya ‘alaqah (korelasi) dan qarinah (tanda-tanda) yang menghalangi pemakaian makna asli (hakiki) tersebut.
Pemakaian bahasa metaforis dalam hadits tidak hanya terbatas hadits yang bersifat informatif, tetapi juga pada hadits-hadits yang mengandung muatan hukum (hadits-hadits hukum). Tiba di sini memahami suatu perkataan sebagai majaz, kadang kala menjadi suatu keharusan, sebab jika tidak demikian seseorang dapat keliru menyimpulkan sebuah tujuan yang dimaksudkan hadits. Sebagai contoh, hadits yang menyatakan:
“Neraka mengadu kepada Tuhannya: Ya Tuhanku sebagianku memakan sebahagian yang lainnya. Maka Allah mengizinkan baginya untuk menjadi dua bahagian; sebahagian di musim dingin dan sebahagian di musim panas, yaitu panas yang paling menyengat dan dingin yang paling menyengat pula”.
Hadits tersebut di atas, haruslah dipahami dengan pemahaman makna majazi dan ilustrasi seni yang menggambarkan panas yang amat sangat, sebagai salah satu bahagian dari tubuh neraka jahannam, sebagaimana ia juga menggambarkan dingin yang amat sangat sebagai bahagian lainnya dari neraka jahanam tersebut. Dengan kata lain, ungkapan “sebagian di musim dingin dan sebagian di musim panas” adalah ungkapan majaz yang harus dipahami dengan makna majazi pula, yakni bahwa siksaan neraka jahannam mempunyai bentuk azab yang sangat panas dan yang amat dingin.
Contoh lain, ketika Nabi bersabda: “Orang yang paling cepat menyusulku adalah orang yang paling panjang tangannya di antara kalian”. Mendengar ucapan Rasul ini, para isteri beliau ada yang memahaminya secara hakiki, yaitu tangan yang panjang. Melihat fenomena ini Aisyah berkomentar, bahwa mereka (para isteri Nabi yang lain) saling memanjangkan tangannya guna mengetahui siapa di antara mereka yang paling panjang tangannya guna mengetahui siapa di antara mereka yang cepat menyusul Rasul. Padahal Rasul tidak bermaksud demikian. “Panjang tangan” yang dimaksud adalah dalam makna kiasan, yakni orang yang tinggi etos kerjanya (banyak melakukan kebaikan). Dalam hal ini, ternyata isteri Nabi yang paling pertama menyusul Nabi adalah Zainab binti Jahsy, seorang wanita yang kreatif, banyak berkarya dan suka bersedekah.
Hadits diucapkan Nabi relevan dengan ruang dan waktu, baik itu dari segi sosial budaya maupun alam lingkungan. Dari sini, pemahan sebuah kata pun haruslah dalam waktu dan ruang di mana hadis itu diucapkan, meskipun kata itu dalam ruang dan waktu pembaca atau penafsir sering dipakai dengan makna yang lebih luas. Artinya sebuah kata tidak diberi muatan makna yang terlalu jauh melampaui masanya. Sebagai contoh, kata tashwir yang disebut dalam hadis, tidaklah dapat diberi makna dengan gambar hasil pemotretan. Kata ini lebih tepat diartikan hanya sebatas karya lukisan atau pahatan. Sebab kata tersebut dalam konteks masyarakat Arab awal, pemotretan belum ada bahkan belum terlintas di benak mereka. Kalaupun kata tashwir atau shurah untuk konteks sekarang juga bermakna hasil karya fotografi, itu tak lain perkembangan kemudian makna sebuah kata.
Analisis konteks-redaksional akan memberikan perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlul/hadaf) yang terkandung dalam sebuah hadis. Bahwa di sana disebutkan media (wasilah) sebagai wadah bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Tiba di sini, kita harus melakukan pemahaman yang bersifat filosofis, yakni menarik tujuan atau maksud sebuah ucapan Rasul.
Untuk itu maksud atau tujuan yang diinginkan dengan media haruslah dibedakan dengan jelas. Ini disebabkan karena Tujuan atau maksud merupakan realitas yang bersifat statis dan universal. Tetapi media senantiasa berkembang dan terus berkembang. Dari sini, maka yang harus dijadikan pegangan dalah tujuan dan maksud yang dikandung sebuah hadis, karena media merupakan pendukung bagi tercapainya sebuah maksud.
Sebagai contoh, Rasul mengatakan: “Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha”. Tujuan atau maksud dari hadis ini sebenarnya adalah membersihkan mulut sehingga Allah menjadi ridha karena kebersihan itu. Sedangkan siwak merupakan media untuk mencuci mulut. Disebutkan siwak oleh Rasul, menurut Yusuf al-Qardawi , karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Karena itu, siwak dapat diganti dengan barang lain, seperti odol dan sikat gigi dan sama kedudukannya dengan siwak.
Demikian pula ru’yat al-hilal untuk menetapkan ramadhan. Zhahir hadits menentukan bahwa kita harus melihat bulan untuk menentukan puasa Ramadhan. Melihat bulan merupakan media untuk sampai pada penetapan Ramadhan. Pada saat itu melihat bulan dengan mata telanjang adalah cara yang paling mudah. Tetapi kemudian teknologi menawarkan media yang lebih mudah dan akurat. Karena itu, media melihat bulan dengan mata telanjang bukan lagi merupakan suatu keharusan disebabkan ada media lain yang lebih mudah dan akurat.
Kenyataan lain yang perlu menjadi perhatian pada konteks redaksional adalah adanya kata-kata asing (gharib), baik itu disebabkan oleh kata itu sendiri yang teradopsi ke dalam penuturan hadits ataupun kata biasa yang dalam konteks redaksional hadits itu sendiri terasa sulit dipahami seperti maknanya yang umum dikenali. Para sahabat ketika menemukan teks-teks hadits yang bersifat gharib, mereka berijtihad untuk mengungkapkan maknanya dengan merujuk pada ucapan dan syair-syair kuna. Tiba di sini, maka ilmu gharib al-hadits memiliki peran yang sangat penting.
Sebagai contoh, dalam salah satu haditsnya Rasul mengatakan bahwa;
من صام رمضان ايمانا واحتسابا غفرله ما تقدم من دنبه
Artinya ; “barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan melaksanakannya dengan penuh keimanaan dan ihtisaban, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.

Lafaz “احتسابا” adalah lafaz grarib. Pada umumnya orang memahami makna kata tersebut dengan arti “penuh pertimbangan”. Akan tetapi yang dimaksud dengan lafaz tersebut adalah ikhlas. Dengan demikian, memahami ilmu gharib al-hadis merupakan salah satu upaya dalam memahami hadis secara kontekstual.

B. Istilah Kontekstual
Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadits.
Dari sini pemahaman kontekstual atas hadits menurut Edi Safri, adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadits-hadits tersebut, atau dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
Dengan demikian asbab al-wurud dalam kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling penting. Tetapi kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbab al-wurud dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu meliputi: konteks historis-sosiologis, di mana asbab al-wurud merupakan bagian darinya.
Pemahaman kontekstual atas hadits Nabi berarti memahami hadits berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Salam artinya, hadits habi saw hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga tak dapat diabaikan. Yang terakhir ini tak kalah pentingnya dalam rangka membatasi dan mengangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadits tetap menjadi komunikatif.
Dari sini maka dalam pendekatan kontekstual, seperti apa yang dikatakan Qamaruddin Hidayat, seorang penafsir atau pembaca lalu memposisikan sebuah teks (baca: hadits) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit mengangkap makna pesan dari sebuah teks.

C. Konteks Historis, Sosiologis dan Antropologis
Hadits sebagai sebuah ucapan dan teks sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar kita lebih bisa mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Tanpa memahami motiv di balik penyampain sebuah hadits, suasana psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan pengucapnya, suasana-psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini sangat berperan sekali.
Tiba di sini, maka kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas tetang ruang dan waktu munculnya sebuah hadits. Kalau pendapat ini diterima maka mereka yang mendalami sejarah Rasulullah Muhammad sudah tentu akan memiliki pemahaman berbeda dari yang tidak mempelajarinya ketika sama-sama memahami sebuah hadits.
Dalam Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai rasul, panglima perang, suami, sahabat dan lain-lain. Dengan demikian, hadits-hadits tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Hal ini juga dikatakan oleh Mahmud Syaltut, “mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengkaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya”.
Sebagai contoh, Nabi melarang salah seorang Anshar mengawini pohon kurma. Maka orang Anshar tersebut mematuhinya karena menganggapnya sebagai wahyu atau masalah keagamaan. Ternyata hasilnya kurang memuaskan dibanding dengan mengawinkannya, karena para rasul diutus tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral keagamaan. Rasul pun bersabda: “Saya melarang dengan rakyu saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya…” sampai akhirnya beliau bersabda: “انتم اعلم بامر الدنياكم”.
Realitas sosial budaya juga menjadi pertimbangan yang penting. Sebab, hadits pada umumnya adalah respons terhadap situasi yang dihadapi oleh Rasul dalam ruang dan waktu tertentu, baik itu situasi yang bersifat umum (sosial budaya) maupun situasi khusus (terhadap seorang atau beberapa orang sahabat). Memahami situasi-situasi tersebut atau asbab al-wurud akan mengantarkan penafsir atau pembaca berada dalam ruang dan waktu di mana hadits itu diucapkan sehingga memberikan wawasan yang lebih luas mengapa (illat) dan siapa yang menjadi sasaran (objek) hadits. Dari sini maka akan dapat ditangkap maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits tersebut dengan baik serta akan memberikan jalan keluar bagi hadits-hadits yang secara lahir tanpak bertentangan.
Rasul tentu saja sangat memperhatikan situasi dan kondisi sosial budaya serta alam lingkungan. Itu sebabnya kita menemukan dalam ruang dan waktu tertentu Rasul melarang suatu perbuatan, tapi pada ruang dan waktu yang lain, Rasul malah menganjurkan perbuatan tersebut, atau memberikan respon yang berbeda terhadap persoalan yang sama dari dua sahabat yang berbeda. Ketika akidah umat dipandang belum begitu kuat, Nabi saw misalnya melakukan pelarangan atas ziarah kubur. Tetapi, ketika akidah mereka sudah kuat, larangan itu kemudian beliau cabut. Demikian pula tentang etika buang hajat, ketika berada di lapangan terbuka Rasul melarang orang membuang hajat menghadap atau membelakangi kiblat karena dikhatirkan akan terlihat oleh orang yang sedang shalat. Tetapi ketika di dalam ruangan yang relatif tertutup Rasul sendiri terlihat membuang hajat, menghadap atau membelangi kiblat.
Di sini, jelas sekali terlihat bahwa Rasulullah SAW, sangat mempertimbangkan situasi sosial budaya masyarakat dan alam lingkungan. Sikap Nabi saw, yang seperti itu mengisyaratkan kepada kita akan adanya pendekatan kontekstual atas hadits beliau. Namun, ketika yang digunakan adalah pendekatan tekstual, maka hasilnya adalah bahwa di situ terdapat nasikh dan mansukh. Tetapi, dengan memperhatikan suasana psikologis, siapa saja yang akidahnya masih lemah, dan dapat musyrik karena ziarah kubur, hadis pertama tetap berlaku baginya. Atau dengan memperhatikan alam lingkungan, maka menghadap atau membelakangi kiblat bagi orang yang buang hajat di tempat terbuka tetap dilarang. Berbeda dengan orang yang buang hajat di dalam ruang tertutup.
Ketika melakukan pertimbangan sosial budaya, maka illat sebagai sifat rasional yang menjadi dasar ketetapan Nabi menjadi sangat penting. Illat ini harus dipahami dalam suasana sosial-budaya dalam ruang dan waktu hadits diucapkan Rasul, lalu setelah itu ditarik dan diletakkan ke dalam realitas sosial budaya di mana seorang penafsir dan pembaca hidup, sehingga ‘illat dapat menjadi sebuah jembatan atau tambatan antara dua realitas sosial-budaya yang berbeda.
Para ulama mengatakan “الحكم يدور مع العلة”. Maksudnya ketika illat itu masih terdapat dalam realitas sosial budaya penafsir atau pembaca, hadits tersebut tetap dipahami dalam ruang dan waktu di mana ia diucapkan. Tetapi, bila ‘illat itu tidak ada lagi dalam realitas sosial budaya penafsir atau pembaca hadis, maka hadits tersebut tidak lagi dipahami seperti pada waktu dan ruang hadits itu diucapkan.
Sebagai contoh, Rasul melarang seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahram: “Tidaklah seorang perempuan bepergian kecuali bersama Mahram”. ‘Illat larangan hadis ini adalah kekhawatiran akan terjadi sesuatu atasnya atau menimbulkan fitnah, karena bepergian pada waktu itu adalah dengan onta atau keledai, menempuh gurun dan belantara atau jalan yang sepi. Tetapi jika kekhawatiran diletakkan dalam realitas sosial budaya kekinian, di mana perjalanan dapat dilakukan dengan pesawat yang memuat 100 orang atau lebih penumpang, atau naik kereta yang berisi ratusan penumpang dalam suasana yang ramai, maka kekhawatiran itu dalam beberapa kondisi tidak signifikan lagi. Maka itu sebabnya ada beberapa ulama yang membolehkan seorang perempuan tanpa suami atau mahram pergi haji bersama rombongan perempuan lain yang terpercaya atau bersama perempuan lain yang aman.
Realitas sosial budaya yang disebutkan di atas, adalah konteks historis yang bersifat umum. Di samping itu juga ada konteks historis yang bersifat lebih khusus, yakni sasaran ucapan Nabi. Ini dianggap penting karena mengandung illat untuk pengecualian. Yakni membatasi ketentuan atau makna hadis sebatas keadaan sahabat atau orang yang semisal dengan sahabat, bukan untuk semua orang. Ketika seorang sahabat meminta izin kepada Rasul untuk berjihad (berperang), rasul menanyakan apakah orang tuanya masih hidup. Mendengar penjelasan sahabat, maka rasul menyatakan bahwa melayani orang tuanya sama nilainya dengan jihad. Sebagian besar ulama mengasumsikan bahwa sahabat yang meminta izin tersebut belum cukup umur, atau tidak layak untuk berperang. Karena itu untuk sahabat tersebut, rasul menganjurkan lebih baik ia melayani orang tuanya, karena itu juga sama nilainya dengan jihad.
Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman konteks-konteks hadits dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya penghimpunan sebanyak mungkin hadits yang berada dalam satu pembicaraan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadis itu.
Karena hadis-hadis pada dasarnya saling terkait satu sama lain, bahkan seperti al-Quran “يفسروا بعضها بعضا” (satu sama lain saling menafsirkan). Teknik ini tidaklah sulit utuk dilakukan, sebab kitab-kitab hadits telah memilik sistematika yang baik.
Menyangkut dengan asbab al-wurud ini Imam Syafi’ie Bin Muhammad mengingatkan, bahwa adakalanya hadits-hadits Rasul merupakan jawaban sebatas pertanyaan yang diajukan sahabat. Tetapi dalam periwayatannya tidak disebutkan secara sempurna oleh si-periwayat (tidak menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban Rasul), atau orang lain yang meriwatkan hadis itu hanya mengetahui dan mendengar jawaban rasul, namun tidak mengetahui masalah atau pertanyaan yang melatar belakangi jawaban Rasulullah tersebut.

D. Pendekatan Kontekstual dalam perkembangan Sejarah
Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadits: Pertama, pemahaman atas hadits Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya (ahistoris). Tipologi ini dapat disebut tekstualis. Kedua, pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadits. Tentu saja mereka memahami hadits secara kontekstual. Tetapi dalam kenyataan sejarah tipe ini tidak begitu populer karena mereka tenggelam dalam pelukan Ahlus Sunnah wa al-Jamaah, yang lebih suka memakai hadits secara tekstual.
Berkaitan dengan pemahaman dengan pendekatan kontekstual, para sahabat Nabi sudah mulai melakukannya, bahkan ketika Nabi masih hidup. Apa yang dilakukan oleh sebahagian sahabat terhadap hadits “jangan kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah” merupakan sebuah contoh yang cukup layak. Sebagian sahabat tersebut memahami hadis tersebut secara kontekstual dengan menangkap maksud dan tujuan Nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat Ashar pada waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lagi yang memahami secara tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah–meski hari telah gelap.
Demikian pula Umar ibn Khattab, ketika tidak mengikuti praktek Rasul membagikan tanah hasil rampasan perang. Ia tidak membagikan tanah taklukan Irak kepada para tentaranya, melainkan justru membiarkannya di tangan para pemiliknya dengan catatan mereka harus membayar upeti. Di sini Umar tanpaknya sangat jeli melihat dua konteks yang berbeda. Pembagian tanah Khaibar oleh Rasulullah di masa permulaan Islam merupakan kemasalahatan pada saat itu. Tetapi pada masanya, kemasalahatan ada dengan tidak dibagikannya tanah tersebut.
Imam Syafii juga banyak melakukan pemahaman kontekstual atas hadits nabi. Pemahaman kontekstual yang dilakukan Imam Syafii berangkat dari kenyataan bahwa adanya hadits-hadits yang secara zahir terlihat bertentangan. Indikasi yang dapat ditangkap dari pernyataan Syafii adalah sulit diterima adanya hadits-hadits yang mengandung makna yang kontradiksi (mukhtalif). Karena itu, di samping beberapa cara penyelesain lain semisal nasakh mansukh dan tarjih, Syafii menyelesaikannya dengan kompromi yang salah satunya adalah pemahaman kontekstual.
Pemahaman yang dilakukan imam Syafii sangat bertumpu pada sabab al-wurud hadits. Sebagai contoh Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Tetapi Rasulullah pernah pula meminang sendiri Fatimah binti Qais untuk Usamah ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Tetapi setelah dilihat asbab al-wurudnya, ternyata hadis ini tidak bertentangan karena dinyatakan nabi dalam kasus-kasus yang berbeda.
Pendekatan kontekstual yang dilakukan oleh sebagian sahabat haruslah diakui masih dalam tahap sederhana. Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Syafii adalah dalam kaitannya dengan hadits-hadits mukhtalif yang ditulisnya dalam kitab al-Umm dan al-Risalah dengan hadits-hadits yang bertolak belakang. Tetapi meskipun demikian ini telah menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk meneruskan dan mengembangkan metode ini.

PENUTUP
Melihat bahwa Nabi sangat memperhatikan situasi sosial budaya dan suasana psikologis sahabat yang menjadi sasaran ucapan Nabi, maka sudah seharusnya pendekatan kontekstual atas hadits nabi terus dikembangkan. Tetapi, ini hanya terhadap sebagian hadits-hadits Nabi yang dipahami secara tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman. Sedangkan terhadap sebagian lain dapat dilakukan dengan pemahaman tekstual. Pemahaman hadits secara tekstual ini dilakukan bila hadis bersangkutan setelah dihungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, seperti asbab al-wurud hadits, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits tersebut.
Semua tafsiran yang muncul, baik terhadap teks al-Qur’an maupun hadis tidak berarti mengurangi derajat keluhuran kedua teks melainkan suatu keniscayaan belaka yang oleh al-Qur’an sendiri telah diisyaratkan perlunya penafsiran intertekstualitas.


Daftar Pustaka
Afif Muhammad, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadits Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 1989
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’I ; Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif, Tesis, Fakultas Pascasarjana IAIN Syrarif Hidayatullah Jakarta, 1990
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama ; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996
Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, Kairo, 1996.
Al-Syafii, Muhammad ibn Idris, al-Risalat, Beirut: Dar al-Fikr, t.t
Ahmad Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Yusuf Qardawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadits: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Islamuna Press, 1994.
Al-Hajjaj, Abu Muslim, Shahih Muslim, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Abi al-A’la Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim al-Mubarakfuriy, Tuhfatul Ahwaziy bi Syarh Jami’ al-Turmudziy, t.p: Dar al-Fikr, 1979

"Lahirnya Sebuah Negara ; Kepemimpinan Muhammad SAW"

Oleh ;Coel Ipins

A. Latar Belakang
Berbicara tentang Pembentukan Negara Madinah dan Konstitusi Madinah, maka tidak dapat dipisahkan dengan hijrah Rasulullah SAW ke Madinah. Karena hijrah adalah suatu fakta sejarah masa lalu yang tidak dapat dipungkiri dan dapat dijadikan khazanah pemikiran Islam masa kini, serta merupakan tonggak sejarah umat muslimin berdirinya negara Madinah, Konstitusi Madinah yang universal dan diterima oleh semua golongan dan lapisan masyarakat didalamnya mengatur pola hidup bersama antar kaum muslim di satu pihak dengan orang non muslim pada pihak lain.